Wednesday, October 22, 2008

“Antara Usman Bin Affan dan Faraq Fouda”

Tampaknya, ada sifat yang khas dari kaum liberal di Indonesia. Mereka senang dengan hal-hal yang nyeleneh dan asal beda dengan umat Islam pada umumnya. Orang Jawa bilang: yang penting Waton suloyo alias WTS atau asal beda. Jika umat Islam menolak Ahmadiyah, mereka malah mendukung Ahmadiyah. Umat Islam mendukung RUU Anti-pornografi, mereka justru menolaknya. Jika umat Islam mengecam perkawinan sesama jenis, mereka justru mendukungnya. Umat Islam menolak perkawinaan antar-agama, tapi mereka malah mempromosikannya.


Umumnya umat Islam membanggakan sejarahnya yang gemilang. Tapi, kaum liberal senang tampil beda. Mereka senang jika umat Islam malu dengan sejarahnya sendiri. Yang penting beda! Jika ada hal yang dianggap baru, dan datang dari kaum liberal di luar, lalu ditelan begitu saja. Yang penting liberal, dan sok kritis terhadap Islam. Ketika muncul seorang lesbian seperti Irshad Manji, maka mereka sambut dengan gegap gempita. Nong Darol Mahmada, aktivis liberal alumnus Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta menulis artikel di Jurnal Perempuan (nomor 58) berjudul: “Irshad Manji, Muslimah Lesbian yang Gigih Menyerukan Ijtihad.”


Kita pernah membahas, bagaimana naifnya pujian yang berlebihan terhadap Irshad Manji. Tapi, mereka tidak peduli. Setelah mempromosikan Irshad Manji, kini kaum liberal di Indonesia sedang gandrung dengan idola baru bernama Farag Fouda. Yayasan Wakaf Paramadina menerbitkan edisi kedua karya Farag Fouda berjudul Kebenaran yang Hilang: Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslimin. Judul aslinya adalah al-Haqidah al-Ghaibah.


Tampaknya, buku Fouda sedang digandrungi oleh kaum liberal. Di berbagai forum mereka mempromosikan buku ini. Katanya, ini buku yang hebat, yang menunjukkan “kebenaran” yang selama ini disembunyikan oleh para sejarawan Muslim. Di negara asalnya, Fouda memang sempat membuat berita besar, saat ia mati terbunuh pada 8 Juni 1992. Lima hari sebelumnya, 3 Juni 1992, sejumlah ulama al-Azhar menyatakan Fouda telah murtad karena banyak menghujat Islam.


Menyambut kampanye penyebaran buku Fouda tersebut, Jumat (17 Oktober 2008) lalu, bertempat di Masjid al-Furqan, Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia menggelar Tabligh Akbar. Tampil sebagai pembicara utama adalah Asep Sobari Lc, peneliti bidang sejarah di INSISTS. Sebelumnya, Asep Sobari sudah meluncurkan analisis kritisnya terhadap karya Fouda ini di situs www.hidayatullah.. Tapi, dalam acara Tabligh Akbar, alumnus Universitas Madinah itu mengupas lebih tajam lagi berbagai kecurangan dan kesalahan Fouda dalam mengutip kitab-kitab rujukan dari Thabari dan Ibn Saád. Sejumlah bagian dari naskah edisi Indonesia, dibandingkan langsung dengan naskah asli karya Fouda serta kitab-kitab rujukan Fouda. Dengan cara seperti itu, tampak jelas dimana letak kecurangan dan kelemahan buku Fouda tersebut.


Karena itu, kita kemudian memang cukup keheranan dengan berbagai pujian terhadap buku ini. Khususnya yang dilakukan oleh orang yang bergelar guru besar bidang sejarah. Prof. Dr. Azyumardi Azra, Guru Besar Sejarah dan Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah ini, memuji-muji buku Fouda:


“Karya Farag Fouda ini secara kritis dan berani mengungkapkan realitas sejarah pahit pada masa Islam klasik. Sejarah pahit itu bukan hanya sering tak terkatakan di kalangan kaum Muslim, tapi bahkan dipersepsikan secara sangat idealistik dan romantik. Karya ini dapat menggugah umat Islam untuk melihat sejarah lebih objektif, guna mengambil pelajaran bagi hari ini dan masa depan”.


Lebih “hebat” lagi pujian dari Prof. Dr. Syafi`i Maarif, Guru Besar Filsafat Sejarah, Universitas Nasional Yogyakarta (UNY):


”Terlalu banyak alasan mengapa saya menganjurkan Anda membaca buku ini. Satu hal yang pasti: Fouda menawarkan ”kacamata” lain untuk melihat sejarah Islam. Mungkin Fouda akan mengguncang keyakinan Anda tentang sejarah Islam yang lazim dipahami. Namun kita tidak punya pilihan lain kecuali meminjam ”kacamata” Fouda untuk memahami sejarah Islam secara lebih autentik, obyektif dan komprehensif”.


Dengan gamblang, Asep menunjukkan bagaimana Fouda telah sengaja mengambil sejumlah riwayat yang lemah dan tidak jelas sumbernya untuk mendukung opininya. Lalu, dia katakan itu sebagai fakta sejarah. Padahal, faktanya tidak begitu. Kecurangan yang sangat jelas, misalnya, dalam kasus sahabat Utsman bin Affan r.a. Dengan mengutip riwayat-riwayat yang lemah, Fouda telah membangun citra yang sangat buruk terhadap menantu Rasulullah saw tersebut.


Karena isinya semacam itu, tidak heran jika tokoh liberal, Goenawan Mohamad pun bersorak gembira dengan terbitnya buku ini. Catatan Goenawan di Majalah TEMPO dijadikan epilog buku ini. Ketajaman pena wartawan kawakan ini digunakan untuk mempertajam lagi gambaran hitam fitnah Fouda terhadap sahabat Rasulullah saw yang mulia ini. Simaklah uraian Goenawan tentang Sayyidina Usman bin Affan r.a. dalam kolomnya:


“Mereka tak sekadar membunuh Usman. Menurut sejarawan al-Thabari, jenazahnya terpaksa “bertahan dua malam karena tidak dapat dikuburkan.” Ketika mayat itu disemayamkan, tak ada orang yang menyalatinya. Jasad orangtua berumur 83 tahun itu bahkan diludahi dan salah satu persendiannya dipatahkan. Karena tak dapat dikuburkan di pemakaman Islam, khalifah ke-3 itu dimakamkan di Hisy Kaukab, wilayah pekuburan Yahudi. Tak diketahui dengan pasti mengapa semua kekejian itu terjadi kepada seorang yang oleh Nabi sendiri telah dijamin akan masuk surga. Fouda mengutip kitab al-Tabaqat al-Kubra karya sejarah Ibnu Saád yang menyebutkan satu data menarik: khalifah itu agaknya bukan seorang bebas dari keserakahan. Tatkala Usman terbunuh, dalam brankasnya terdapat 30.500.000 dirham dan 100.000 dinar.”


Tampaknya Goenawan tidak mengecek sendiri pada kitab al-Thabari dan Ibn Saád. Dia taklid buta pada Fouda. Dengan penggambaran Goenawan Mohamad seperti itu terhadap Usman r.a., kita dapat menangkap pesan, bahwa Khalifah ketiga dari Khulafaurrasyidin itu adalah seorang yang hina, sial, dan serakah. Goenawan seperti sedang mengejek umat Islam yang senantiasa berdoa untuk Rasulullah saw dan para sahabatnya: “Wahai umat Islam, orang yang kalian puja dan doakan itu adalah manusia brengsek. Kalian selama ini telah tertipu. Ada kebenaran yang hilang; ada fakta sejarah yang selama ini disembunyikan!” Maka, judul yang ditulis untuk buku Fouda ini adalah “Kebenaran yang hilang”.


Kita paham, kaum liberal seperti Goenawan Mohamad ini sedang menertawai umat Islam melalui buku Fouda. Seolah-olah, selama ribuan tahun, umat Islam tolol semua. Para ulama Islam telah melakukan kecurangan, menyembunyikan fakta sejarah tentang sahabat nabi. Seolah-olah, para orang tua Muslim telah salah mengajar anak-anaknya untuk mencintai Rasulullah saw dan para sahabatnya. Padahal, kata mereka, sahabat Nabi yang diagung-agungkan dan senantiasa didoakan umat Islam itu ternyata juga manusia serakah, manusia busuk!


Pesan penting lain yang disampaikan Goenawan melalui kolomnya adalah pembelaan terhadap Fouda. Ia memuji Fouda. Ia menyesali kematian Fouda. Sebab, Fouda termasuk jajaran kaum sekular-liberal. “Ia mempersoalkan keabsahan posisi khilafah. Ia pengganggu kemutlakan,” tulis Goenawan tentang Fouda. Tapi, penyesalan itu bukan untuk Usman r.a.. Goenawan termakan cerita Fouda, bahwa Usman r.a. adalah manusia brengsek, serakah, dan haus kekuasaan. Karena menolak turun dari jabatannya, maka Usman terbunuh. “Maka perkara jadi runcing dan mereka mengepung Usman – lalu membunuhnya, lalu menistanya,” tulis Goenawan.


Usman bin Affan adalah manusia hina. Itu fakta, kata mereka Sumber berita untuk mencaci maki sahabat Nabi itu hanya satu: Farag Fouda. “Kaum “Islamis” tak pernah menyebut peristiwa penting itu, tentu,” ejek Goenawan. Syafii Maarif juga cukup rajin mempromosikan buku Fouda ini. Seperti yang ditulisnya di sampul belakang buku ini: Fouda telah memahami sejarah Islam secara lebih autentik, obyektif dan komprehensif. Azyumardi Azra juga menyebut apa yang disajikan oleh Fouda sebagai “realitas sejarah”.

Sebagai Muslim yang beriman akan kejujuran Nabi Muhammad saw, tentu iman kita tertantang dengan pemaparan tentang Sayyidina Usman versi kaum liberal ini. Benarkah Usman r.a. memang manusia hina dan bejat seperti digambarkan Fouda dan Goenawan Mohamad? Padahal, begitu banyak hadits Nabi yang menyebutkan tentang keutamaan Usman bin Affan. Maka, kita ditantang: percaya pada Nabi Muhammad saw atau percaya pada Farag Fouda?


Untuk itu, cara terbaik adalah mengecek langsung sumber-sumber asli yang dikutip Fouda. Hasil penelitian Asep Sobari menunjukkan, ada kelemahan metodologis dan kecurangan yang sangat serius dari Fouda dalam mengutip sumber-sumber aslinya. Misalnya, tentang riwayat keterlambatan penguburan jenazah Usman bin Affan, Fouda hanya mengambil satu riwayat yang lemah dalam karya al-Thabari. Padahal, ada delapan versi lain yang juga disebutkan dalam kitab itu. Tapi, Fouda sama sekali tidak menyinggungnya.


Bahkan, dalam al-Thabaqat al-Kubra, karya Ibn Sa’ad, disebutkan beberapa riwayat dari `Amr bin Abdullah dan al-Waqidi yang jelas-jelas menyatakan Usman dimakamkan langsung pada malam harinya di Baqi` (al-Thabaqat, 3/77-78). Jadi, dengan hanya menyebut satu riwayat yang lemah, Fouda jelas-jelas melakukan upaya menipulasi data sejarah dengan membuat kesan seolah-olah hanya ada riwayat itu saja.


Cara penulisan sejarah seperti ini tentu tidak komprehensif. Maka, ajaib, jika Profesor sejarah justru memuji-muji buku ini. Sama ajaibnya dengan wartawan senior yang malas melakukan cek dan ricek terhadap sumber-sumber referensi yang dipakai Fouda. Mungkin hanya karena cerita picisan Fouda itu sesuai dengan seleranya, maka dia langsung menelan begitu saja cerita tentang kebejatan Usman r.a..


Dalam paparan slide-nya saat Tabligh Akbar di Masjid Dewan Da’wah, Asep Sobari menampilkan naskah asli dari al-Thabari yang sama sekali tidak menyebutkan areal pemakaman Hasy Kaukab sebagai areal pemakaman Yahudi. Tapi, dalam naskah asli buku Fouda, ada tambahan bahwa Hasy Kaukab (bukan Hisy Kaukab) adalah areal pemakaman Yahudi. Ini juga merupakan tindakan yang tidak etis dalam penulisan ilmiah. Apalagi ini menyangkut martabat seorang sahabat Nabi yang sangat dihormati oleh Nabi Muhammad saw dan juga umat Islam secara keseluruhan.


Apakah Usman bin Affan seorang yang serakah karena meninggalkan banyak uang seperti dikatakan Goenawan Mohamad? Asep Sobari menunjukkan data yang menarik tentang kesuksesan bisnis Usman r.a. dan kedermawanannya. Sejumlah riwayat yang dituturkan Ibn Hajar memberi gambaran kekayaan Usman. Di antaranya, pada permulaan masa hijrah, kaum muslim di Madinah kesulitan mendapat air bersih. Saat itu, hanya ada mata air Rumah yang tersedia dan itupun harus dibeli. Usman r.a. akhirnya membeli sumur itu dan mewakafkannya untuk umat Islam. Ketika ada rencana perluasan masjid Nabawi di masa Nabi saw dan dana kas negara tidak mencukupi, Rasulullah saw mengumumkan pengumpulan dana. Maka Usman r.a. segera membeli tanah untuk perluasan tersebut seharga 25.000 dirham.Ketika Nabi saw menghimpun dana guna membiayai perang Tabuk yang terjadi di masa paceklik, Usman r.a. mendermakan 1000 dinar, 940 ekor unta dan 40 ekor kuda (al-Khilafah al-Rasyidah min Fath al-Bari, hlm. 453-458).


Seiring dengan geliat kemajuan ekonomi di masa Umar, bisnis Usman bin Affan pun semakin berkembang dan asetnya bertambah besar, jauh di atas rata-rata kaum muslimin lainnya. Imam Bukhari (hadits no. 3059) menggambarkan, ketika kekayaan negara berupa hewan ternak semakin banyak, Umar terpaksa membuat lahan konservasi eksklusif (al-Hima), dan berkata kepada pegawainya, “Izinkan para pemilik ternak untuk menggembala di al-Hima, tapi jangan sekali-kali mengizinkan [Abdurrahman] bin Auf dan [Usman] bin Affan. Karena jika seluruh ternak mereka berdua binasa, mereka masih punya kebun dan ladang”.


Jadi, Usman r.a. memang seorang pengusaha sukses, kaya raya dan sangat dermawan. Jangankan hartanya, nyawanya pun telah dipertaruhkan untuk Islam. Ia terjun langsung dalam berbagai peperangan. Tidak masuk akal, manusia mulia seperti ini lalu menjadi orang yang serakah terhadap dunia. Tidaklah sepatutnya pribadi mulia seperti Usman bin Affan itu disejajarkan dengan seorang Farag Fouda. Jika ada sebagian sisi lemah Usman r.a. dalam kebijakan politiknya, maka Usman memang seorang manusia. Tapi, tidaklah komprehensif melihat kepemimpinan Usman hanya dari sebagian sisi lemahnya saja. Berbagai prestasi besar – dalam politik, ekonomi, dan pendidikan – telah dicapai dalam masa 12 tahun kepemimpinan Usman bin Affan r.a.


Selama ratusan tahun, para sejarawan Muslim telah mencurahkan segenap tenaga untuk menulis sejarah tentang para sahabat Nabi Muhammad saw. Tidak ada kebenaran yang disembunyikan, seperti tuduhan Fouda yang diamini begitu saja oleh sejumlah tokoh liberal di Indonesia. Sebab, sumber-sumber sejarah itu tetap terbuka untuk diteliti, oleh siapa saja. Silakan Goenawan Mohammad, Azyumardi Azra, dan Syafii Maarif menelitinya sendiri. Jangan bertaklid begitu saja kepada Fouda. Jangan mengerdilkan keilmuan Anda sendiri! Aneh, jika kematian Fouda disesali, tetapi kematian Usman bin Affan justru dianggap wajar. Sebab, Fouda adalah pejuang HAM, sedangkan Usman r.a. adalah manusia hina dan serakah!


Semestinya, para ilmuwan dan cendekiawan ini membaca juga banyak buku lainnya tentang cerita seputar konflik diantara sahabat Nabi. Thaha Jabir Ulwani, misalnya, dalam bukunya Adabul Ikhtilaf fil Islam, memaparkan data-data perbedaan bahkan konflik diantara sahabat Nabi. Mereka adalah manusia. Tapi, yang sangat indah adalah bagaimana cara mereka menghadapi dan menyelesaikan konflik. Umat Islam justru bisa belajar dari sejarah semacam itu. Sebab, dalam kehidupan manusia, ada saja orang-orang yang berbuat jahat dan mengeruhkan suasana. Terjadinya kekacauan dan pembunuhan terhadap Usman bin Affan r.a. tidak bisa begitu saja ditimpakan kesalahannya kepada Usman r.a. Begitu juga, martabat Ali bin Abi Thalib r.a. tidak kemudian menjadi rendah karena di masanya terjadi pergolakan.


Sebagai Muslim, kita tentu tidak sudi mengikuti jejak orang-orang yang mudah menghina sahabat Nabi saw. Mereka adalah manusia-manusia pilihan yang sangat disayangi oleh Nabi kita, Muhammad saw. Kita pun tak suka sahabat kita dicaci maki. Kaum liberal juga tidak suka jika idolanya diungkapkan keburukannya setelah kematiannya. Mereka katakan, itu tidak etis. Tapi, jika penghinaan dan pelecehan itu dilakukan terhadap sahabat Nabi, seperti Usman bin Affan r.a., mereka justru bertepuk tangan.


Maka, kita tak akan bosan-bosan mengimbau kepada semua pihak yang telah semena-mena mencaci maki sahabat Nabi yang mulia: beristighfarlah dan bertobatlah sebelum terlambat! [Yogyakarta, 18 Oktober 2008/www.hidayatullah.com]


Catatan Akhir Pekan (CAP) adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com






Monday, October 20, 2008

Memuja Fouda, Menfitnah Sahabat

Belum lama ini, Yayasan Wakaf Paramadina bekerjasama dengan penerbit Dian Rakyat menerbitkan edisi Indonesia sebuah buku berjudul “Kebenaran yang Hilang: Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslimin” , karya Farag Fouda (Judul aslinya: al-Haqiqah al-Ghaybah). Selanjutnya judul buku ini disingkat KYH.

Dari judulnya, bisa ditebak, buku ini mengangkat apa yang oleh penulisnya disebut sebagai sisi kelam dari sejarah Islam. Jika kaum Muslim menyebut zaman Khulafaurrasyidin sebagai masa yang ideal, maka Fouda meggambarkan sebaliknya. Menurut Fouda, zaman itu bukanlah masa ideal, tapi “zaman biasa”. “Tidak banyak yang gemilang dari masa itu. Malah, ada banyak jejak memalukan.” (hal.xv).

Mungkin karena itulah, kaum liberal di Indonesia sangat bergairah dengan terbitnya buku ini. Pada sampul depan ditulis pujian Prof. Dr. Azyumardi Azra yang dikenalkan sebagai Guru Besar Sejarah dan Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah. Terhadap buku ini, Prof. Azra berkomentar:

“Karya Farag Fouda ini secara kritis dan berani mengungkapkan realitas sejarah pahit pada masa Islam klasik. Sejarah pahit itu bukan hanya sering tak terkatakan di kalangan kaum Muslim, tapi bahkan dipersepsikan secara sangat idealistik dan romantik. Karya ini dapat menggugah umat Islam untuk melihat sejarah lebih objektif, guna mengambil pelajaran bagi hari ini dan masa depan”.

Pada sampul belakang, dimuat komentar Prof. Dr. Syafi`i Maarif yang dikenalkan sebagai Guru Besar Filsafat Sejarah, Universitas Nasional Yogyakarta (UNY). Lebih bergairah dari Profesor Azra, Profesor Syafi’i Maarif terkesan begitu terpesona oleh karya Faouda ini, sehingga dia berkomentar:

”Terlalu banyak alasan mengapa saya menganjurkan Anda membaca buku ini. Satu hal yang pasti: Fouda menawarkan ”kacamata” lain untuk melihat sejarah Islam. Mungkin Fouda akan mengguncang keyakinan Anda tentang sejarah Islam yang lazim dipahami. Namun kita tidak punya pilihan lain kecuali meminjam ”kacamata” Fouda untuk memahami sejarah Islam secara lebih autentik, obyektif dan komprehensif”.

Benarkah buku Fouda ini memang obyektif dan komprehensif, sebagaimana pujian para profesor sejarah di Indonesia itu? Untuk membuktikannya, silakan simak fakta-fakta berikut ini:

Farag Fouda adalah seorang doktor Ekonomi Pertanian di Mesir. Dia dikenal sebagai juru bicara yang sangat vokal dari kaum liberal di Mesir. Hidupnya berakhir tragis. Dia ditembak mati pada 8 Juni 1992. Pada 3 Juni 1992, sejumlah ulama al-Azhar membuat pernyataan, bahwa Fouda telah murtad dari agama Islam, karena pendapat-pendapatnya dinilai menghujat Islam. Dalam pengantar buku edisi Indonesia ini, Samsu Rizal Panggabean mencatat, bahwa Ma’mun al-Hudaibi, pemimpin Ikhwanul Muslimin, membenarkan pembunuhan tersebut. Saat menjadi saksi di pengadilan, Syekh Muhammad al-Ghazali mengatakan, seorang muslim yang telah murtad atau keluar dari agama Islam dapat dibunuh. (hal. xii).

Umat Islam memang bisa tersengat imannya dengan opini yang diungkapkan Fouda. Meskipun bukan ahli sejarah Islam, Fouda mengaku “telah membaca sejarah secara tekun, menganalisisnya dengan cermat, mengeceknya dengan teliti” (KYH, hlm. 1). Karenanya, dia berani menuangkan buah pikirannya tentang sejarah yang menurutnya dibingkai dengan “akal sehat” dan menghindari khayalan subyektif yang dapat mendorong terjadinya penambahan atau pengurangan yang melampaui kebenaran sejarah (KYH, hlm. 2). Fouda menegaskan, Kebenaran yang Hilang ditulis “bukan untuk kepentingan propaganda, mengolok-olok ataupun mengejek, tetapi untuk kepentingan kecermatan dan ketelitian dalam mengungkap kebenaran sejarah” (KYH, hal. 2).

Itulah klaim Fouda. Tapi, jika ditelaah pada sumber-sumber yang dirujuknya, kenyataannya jauh panggang dari api. Kajian Fouda bukan hanya sering tidak obyektif, tidak komprehensif, dan tidak jujur. Tapi juga lemah dari segi metodologi. Untuk menentukan kekuatan suatu fakta, Fouda merasa cukup dengan hanya mengutip riwayat minor dari salah satu sumber rujukan, tanpa harus meneliti atau membandingkan dengan riwayat-riwayat lain yang dimuat dalam sumber yang sama, apatahlagi sumber lain.

Di sinilah letak kelemahan kajian Fouda yang paling mendasar. Fouda mengutip sumber-sumber sejarah klasik secara sembarangan, sesuai dengan kemauannya. Riwayat-riwayat yang tidak jelas sumbernya, dia kutip sebagai rujukan cerita, dengan menafikan riwayat lain yang jelas dan kuat sumbernya. Cara-cara seperti ini memang biasa digunakan oleh kaum orientalis dalam menulis sejarah Islam. Sayangnya, kaum sekular-liberal, seperti Fouda, juga mengikuti jejak kaum orientalis dalam memberikan citra buruk tentang sejarah Islam.

Dengan metode yang serampangan seperti itu, Fouda membuat gambaran yang sangat tidak beradab (baca: biadab) terhadap Sayyidina Usman r.a. Simaklah gambaran buku ini tentang Usman bin Affan r.a.:

”Namun Usman membawa umat Islam ke dalam polemik tentang sosok dirinya. Para pemimpin di dalam Ahl al-Hall wa al-’Aqdi membuat konsensus untuk melarikan diri dari kepemimpinannya, baik lewat cara pemecatan menurut kalangan ahli pikirnya, maupun kekerasan menurut kalangan garis kerasnya. Wibawanya terguncang di mata rakyat, sampai sebagian masyarakatnya menghunus pedang yang siap mencincangnya dan menohoknya ketika berada di atas mimbar. Bahkan sebagian menghinanya dengan sebutan Na’tsal, sebutan untuk orang Kristen Madinah bernama Na’tsal yang kebetulan berjenggot lebat seperti Usman. Para pemuka sahabat pun menentangnya, ini adalah sesuatu yang sangat terang benderang menunjukkan bahwa ia keluar dari ketentuan al-Quran dan Sunnah. Karena itu, muncul seruan secara terang-terangan untuk membunuhnya. Hadits Aisyah meriwayatkan: “Bunuhlah Na`tsal, dan terlaknatlah Na`tsal.” (KYH, hal. 25).

Selanjutnya, untuk lebih mempertajam citra buruk Usman r.a., Fouda menulis secara dramatis kisah kematian Usman dan pemakamannya:

”Ia terbunuh oleh tangan umat Islam sendiri yang bersepakat memberontak dan mengepung rumahnya. Dan anda dapat saja membayangkan bahwa kematian Usman telah melegakan hati sebagian umat Islam. Bahkan, permusuhan sebagian umat Islam atas dirinya berlangsung setelah kematiannya....” (KYH, hal. 25)

Lebih tragis lagi adalah gambaran Fouda tentang jenazah Sayyidina Usman r.a.:

“Mayat Usman harus bertahan dua malam karena tidak dapat dikuburkan. Ia ditandu empat orang…dan Abu Jahm bin Huzaifah. Ketika ia disemayamkan untuk dishalatkan, datanglah sekelompok orang Anshar yang melarang mereka untuk menyalatkannya… Mereka juga melarangnya untuk dimakamkan di pekuburan Baqi`. Abu Jaham lalu berkata, ‘Makamkanlah ia karena Rasulullah dan para malaikat telah bershalawat atasnya’. Akan tetapi, mereka menolak, ‘Tidak, ia selamanya tidak akan dimakamkan di pekuburan orang Islam. Lalu mereka memakamkannya di Hisy Kaukab (sebuah areal pekuburan Yahudi). Baru tatkala Bani Umayyah berkuasa, mereka memasukkan areal pemakaman Yahudi itu ke dalam kompleks Baqi`” (KYH, hal. 26).

Sayyidina Usman r.a. adalah salah satu sahabat Nabi terkemuka yang sangat dihormati oleh umat Islam. Dia juga menantu Nabi saw. Kaum Muslimin tak putus mengirim doa kepadanya bersama shalawat untuk Rasulullah saw. Diri dan hartanya telah diserahkan untuk perjuangan Islam. Tapi, gambaran hebat tentang Usman r.a. itu diporakporandakan oleh Farag Faouda. Bahkan, Fouda berfantasi lebih jauh lagi: ”Usman diposisikan sebagai orang paling hina dan paling sial di antara umat Islam.” (hal.27).

Itulah gambaran sangat tidak beradab tentang Usman r.a. yang dilakukan oleh Fouda yang bukunya dipuji-puji oleh dua guru besar sejarah di Indonesia. Upaya membuat gambaran buruk terhadap Usman itu tidak akan berhasil, sebab data dan caranya memang sangat tidak ilmiah. Bagi sejarawan yang mau menelaah sumber-sumber primer sejarah Islam, tidak terlalu sulit untuk membuktikan kecurangan Fouda dan kenaifan dua Profesor sejarah tersebut.

Fakta sejarah menunjukkan tidaklah benar bahwa para pemuka sahabat yang tergolong Ahl al-Hall wa al-`Aqd sepakat menjauhi Usman dengan cara-cara tak terhormat. Apalagi menyebutkan, bahwa Aisyah menyuruh membunuh Usman. Dalam edisi bahasa Arab ditulis: “Haytsu yurwa ‘an Aisyah qauluha uqtulu Na’tsalan wa la’anallaahu Na’tsalan.” Jadi, menurut Fouda, Aisyah sendiri yang mengutuk Utsman dan memerintahkan pembunuhan terhadap Usman.

Dengan cara seperti itu, Fouda sedang menggiring pembaca pada sebuah kesimpulan bahwa pembunuhan Usman sudah selayaknya terjadi. Menurut Fouda, peristiwa tersebut “melibatkan” atau setidaknya mendapat dukungan dari para pemuka Sahabat, seperti Ali, Zubair, Thalhah, Sa`id bin Zaid, Ibn Umar, Ibn Abbas dan lain-lain, yang tergabung dalam Ahl al-Hall wa al-`Aqd. Padahal, faktanya, sama sekali tidak seperti itu. Para sahabat itu sama sekali tidak terlibat dalam pembunuhan Usman.

Sayangnya, Fouda tidak menyebut data yang lebih spesifik dan rujukan yang dapat diukur kebenarannya. Tidak ada riwayat yang jelas dari hadits yang disebutkan Fouda tentang riwayat `Aisyah yang memerintahkan membunuh Usman r.a. Bahkan, `Aisyah ra. sendiri, seperti diriwayatkan Bukhari dalam al-Tarikh al-Kabir dengan sanad yang baik, mengutuk pembunuh Usman, “Usman dibunuh secara zalim. Terkutuklah pembunuhnya” (Muhammad al-Ghabban, Fitnat Maqtal `Utsman, hal. 426).

Untuk membuktikan kesalahan Fouda dalam mengutip sumber-sumber sejarahnya, cukup melacak kitab sejarah yang ditulis al-Thabari dalam subjudul, Dzikr al-Khabar `an al-Mawdhi` al-Ladzi Dufina fihi `Utsman…(al-Tarikh, 2/687). Buku inilah yang dirujuk dengan tidak cermat oleh Fouda. Simaklah fakta-fakta yang tersaji dalam Kitab al-Thabari tersebut:

Terkait masalah prosesi pemakaman Usman, al-Thabari sebenarnya menyebut 9 riwayat dari 4 sumber, dengan urutan seperti berikut; Ja`far bin Abdullah al-Muhammadi (2 riwayat), al-Waqidi (4 riwayat), Ibn Sa`ad (1 riwayat), dan Saif bin Umar (2 riwayat). Riwayat yang dikutip Fouda di atas adalah riwayat ketiga al-Waqidi. Padahal, sebenarnya, kitab ini menyebut sejumlah riwayat.

Menurut riwayat pertama al-Muhammadi, Usman dimakamkan di Hasy Kaukab. Riwayat kedua al-Muhammadi: sebuah kebun di luar [Baqi`]. Riwayat pertama al-Waqidi: di Baqi`. Riwayat kedua al-Waqidi: di perkebunan dekat Baqi`. Riwayat keempat al-Waqidi: di Baqi`. Riwayat Ibn Sa`ad: di Hasy Kaukab. Dan riwayat pertama Saif: di areal Baqi` yang berdampingan dengan Hasy Kaukab.

Kenapa Fouda hanya mencatut riwayat ketiga al-Waqidi untuk mendukung argumentasinya? Ini menunjukkan bahwa Fouda menulis sejarah dengan tidak cermat dan tidak komprehensif. Semua riwayat itu adalah lemah, dan anehnya Fouda sengaja mengambil satu saja riwayat diantara riwayat yang lemah. Itupun baru seputar riwayat-riwayat al-Thabari. Sejarawan yang baik tentunya akan berusaha menggali riwayat-riwayat sejenis dari kitab lainnya, misalnya al-Thabaqat al-Kubra, karya Ibn Sa’ad. Dalam kitab ini, Ibn Sa`ad menyebut beberapa riwayat dari `Amr bin Abdullah dan al-Waqidi yang jelas-jelas menyatakan Usman dimakamkan langsung pada malam harinya di Baqi` (al-Thabaqat, 3/77-78).

Maka, bukankah hal yang ajaib, jika seorang Profesor sejarah seperti Syafi’i Maarif menyebut buku Fouda ini sebagai “obyektif dan komprehensif”!!!

Cobalah simak kekeliruan Fouda berikutnya:

Fouda menulis bahwa Usman dimakamkan di areal pekuburan Yahudi (KYH, hal. 26). Keterangan tersebut tidak tercantum dalam redaksi riwayat al-Waqidi yang dikutip Fouda. Bahkan juga tidak terdapat dalam riwayat-riwayat lain yang disebut al-Thabari. Penjelasan semacam itu tentu sangat fatal, sebab siapa pun akan membayangkan, Usman r.a. dimakamkan bukan di pemakaman Islam, tetapi di pemakaman Yahudi. Inilah salah satu fitnah dan kejahatan besar yang dilakukan Fouda dalam melecehkan menantu Rasulullah saw dan salah satu sahabat Nabi terkemuka. Maka, aneh sekali, jika manusia seperti Fouda ini justru didukung dan dibanggakan oleh dua sejarawan terkemuka di Indonesia seperti Azyumardi Azra dan Syafii Maarif.

Kasus pembunuhan Usman sebenarnya telah ditelaah secara mendalam dalam tesis master Muhammad al-Ghabban di Universitas Islam Madinah dengan judul Fitnat Maqtal `Utsman. Dalam tesisnya, al-Ghabban meneliti dengan cermat semua riwayat tentang prosesi pemakaman dan penyalatan Usman. Kesimpulannya, tidak ada satu pun riwayat yang benar-benar shahih, tetapi semuanya lemah. Hanya saja, ada sebagian yang saling menguatkan. Di antaranya, jenazah Usman dishalatkan dan dimakamkan di Hasy Kaukab, sebuah kebun dekat Baqi` yang kemudian dimasukkan ke dalam areal Baqi` (Fitnat Maqtal `Utsman, hal. 260-261). Jadi, sebenarnya, riwayat yang menyatakan bahwa Usman dimakamkan di pemakaman Yahudi, sama sekali tidak ada, dan itu adalah fantasi Fouda sendiri.

Penutup

Farag Fouda telah menjadi sejarah. Karyanya sama sekali tidak layak masuk kategori buku sejarah yang komprehensif. Maka, seyogyanya, orang-orang seperti Prof. Azyumardi Azra dan Prof. Syafi’i Maarif lebih berhati-hati dalam menilai suatu karya sejarah. Tidaklah patut bersorak gembira menyambut satu karya, hanya karena karya itu luar biasa dalam menggambarkan keburukan generasi sahabat Nabi saw dan hitamnya sejarah Islam. Apalagi itu dilakukan oleh seorang guru besar sejarah.

Sebaiknya, sebelum berkomentar, periksalah sumber-sumber aslinya. Juga, periksa juga terjemahan edisi Indonesianya. Sebab, banyak sekali kesalahan fatal dalam terjemahan. Misalnya, ditulis: “Umair bin Dzabi`i datang meludahinya, lalu ia mematahkan salah satu persendiannya” (KYH, hal. 26). Kalimat fa naza `alaih seharusnya diartikan “melompat atau menyergap kearahnya”, bukan ”datang meludahinya”. Sedangkan kasara dhil`an seharusnya diartikan “mematahkan salah satu tulang rusuk”, bukan ”persendian”.

Kekayaan al-Zubair di Mesir, Aleksandria, Kufah dan Basrah yang dalam teks asli riwayat Ibn Sa`ad disebut Khithath dan Dur disalah-artikan menjadi armada laut dan angkutan darat! Padahal arti semestinya adalah “beberapa bidang tanah” dan “beberapa rumah.”

Akhirul kalam, sebagai peminat sejarah, yang bukan porfesor dan bukan doktor, saya hanya bisa menyarankan, agar orang-orang terhormat dalam bidang sejarah itu bisa menjaga kehormatannya, di dunia dan akhirat! Ingatlah, tanggung jawab keilmuan sangat berat, apalagi menyangkut harkat dan martabat seorang sahabat Nabi saw yang mulia, yang Nabi sendiri telah memuji dan memuliakannya. Lagi pula, apa untungnya mengumbar fitnah dan caci maki kepada sahabat Nabi?

Penulis adalah alumnus Pesantren Darussalam Gontor Ponorogo, dan Universitas Islam Madinah. Kini peneliti bidang sejarah di Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS). Penulis dapat dihubungi di email: as_sobari@yahoo.com

Monday, October 6, 2008

Imam Bukhari Tak Sekedar Periwat Hadits

Nama lengkap Imam Bukhari adalah Abu Abdillah bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju’fi al-Bukhari. Ia dilahhirkan pada malam Jum’at 13 Syawal 194 H / 810 M di Bukhara, sebuah kota di Uzbeskistan,bekas wilayah Uni Soviet.

Ayahnya, Ismail bin Ibrahim seorang ulama hadits ternama pada masanya. Ia belajar hadits ternama pada masanya. Ia belajar hadits dari Hammad bin Zayd dan Imam Malik. Riwayat hidupnya ditulis Ibnu Hibban dalam kitab ats-Tsiqat. Demikian juga dengan Imam Bukhari, menulis riwayat hidup ayahnya dalam kitab at-Tarikh al Kabir. Ayahnya seorang alim, wara’ dan taqwa. Bahkan menjelang wafat, ia sempat menjelaskan hartanya tidak terdapat uang haram atau syubhat sedikit pun.

Sejak kecil, Imam Bukhari telah mencurahkan perhatiannya untuk mempelajari hadits dan ilmu hadits. Pada usia 10 tahun, ia sudah banyak menghapal hadits. Bukhari dikenal rajin, tekun dan juga sangat cerdas. Tidak mengherankan, sebelum usia 16 tahun ia berhasil menghapal dua kitab hadits secara utuh karya Imam Ibnu al-Mubarak dan kitab Imam Waki’.

Bukhari juga tidak hanya menghapalkan mantan hadits dan kitab-kitab ulama terdahulu, namun juga mengenal secara rinci biografi para perawi hadits, lengkap data tanggal lahir, tahun wafat dan tempat lahir mereka.

Tahun 210 H, saat genap berusia 16 tahun, Bukhari bersama ibu dan saudaranya pergi ke Baitullah untuk menunaikan ibadah haji. Selain untuk menunaikan ibadah haji, Bukhari juga menetap di Hijaz, Makkah selama enam tahun. Di kedua kota suci itulah Imam Bukhari menulis sebagian karyanya dan menyusun dasar-dasar al-Jami’ ash-Shahih.

Ia menulis at-Tarikh al-Kabir di sisi makam Rasullah saw dan sering menulis pada malam hari di bawah terang bulan. Ia menulis tiga kitab, at-Tarikh al-Shagir (yang kecil), al-Awsath (yang sedang) dan al-Kabir (yang besar). Ketiga buku ini menunjukkan kemampuan yang luar bisa mengenal Rijal al-Hadits.

Selain singgah ke Makkah dan Madinah, Bukhari juga berkunjung ke Maru, Naisabur, Ra’y, Bagdad, Basrah, Kufah, Mesir, Damaskus dan Asqalan. Dari kota dan negeri Islam ini, Bukhari tercatat pernah meriwatkan hadits dari ulama penghapal hadits , diantaranya Makki bin Ibrahim al-Balakhi, Abd bin Usman al-Mawarzi, Abdullah bin Musa al-Qassi, Abu Ashim al-Syaibani, Muhammad bin Abdullah al-Anshari, Muhammad bin Yusuf al-Firyabi, Abu Nuaim al-Fadhl bin Dikkin, Ali bin al-Madani, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Main Ismail bin Idris al-Madani, Ibnu Rahawaih dan lain-lain.

Ada hal menarik ketika di Bagdad. Bukhari pernah diuji 10 pakar ilmu hadits. Dari 10 ulama ini, setiap orang membacakan sepuluh hadits kepada Bukhari. Para penguji mengganti atau membalik isnad dan matan hadist serta menempatkan secara acak. Satu persatu dari 10 ulama hadits yang telah mereka persiapkan. Imam Bukhari dengan sangat tenang memaparkan, mengurutkan hadits-hadits yang diacak pada susunan yang semestinya.

Karena kemampuan dan kecerdasannya, tidak sedikit Bukhari mendapat pujian dari ulama, rekan, maupun generasi sesudahnya. Imam Abu hatim al-Razi misalnya, berkata, ”Khurasan belum pernah melahirkan seorang yang melebihinya Bukhari. Di Irak pun tidak ada yang melebihi Bukhari. Di Irak pun tidak ada yang melebihi darinya”. Demikian juga dengan Imam Muslim pernah mencium diantara kedua mata Imam bukhari.

Termasuk generasi sesudah Imam Bukhari, Ibnu Hajar al-Asqalani pernah berujar, ” Seandainya pintu pujian dan sanjungan masih terbuka bagi generasi sesudahnya, niscaya kertas dan kapas akan habis. Karena ia (Imam Bukhari) bagaikan laut yang berpantai.”

Imam Ibnu Ishaq bin Rawahaih, salah seorang guru Bukhari mengatakan, ” Seandainya Imam Bukhari hidup pada masa al-Hasan, pasti akan banyak orang yang membutukannya dalam ilmu hadits serta mengetahui kealiman dan kefaqihannya.

Imam Abu Nu’aim dan Ahmad bin Hammad berkata, ”Imam Bukhari adalah orang yang paling faqih dari umat ini.”

Melihat kepakaran Imam Bukhari dari kegigihannya mendalami hadits, sederet nama besar pakar hadits pernah ia kunjungi untuk belajar.”Aku menulis hadits dari 1080 guru, yang semuanya adalah ahli hadits yang berpendirian bahwa iman itu adalah ucapan dan perbuatan,” kenang Bukhari.

Di antara guru itu adalah Ali bin al-Madani, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Main, Muhammad bin Yusuf al-Firyabi, Maki bin Ibrahim al-Balkhi, Abdullah bin Musa al-Abbasi, Abu Asim al-Syaibani, Muhammad bin Abduallah al-Anshari, Muhammad bin Yusuf al-Baykandi dan Ibnu Rahawaih. Jumlah guru yang haditsnya diriwatkan dalam kitab sahihnya sebanyak 289 guru. Hal ini dapat kita peroleh dan jumlah guru beliau yang riwayatnya terdapat dalam Shahih Bukhari, (Muhammad Abu Syuhbah:314-315).

Selain memiliki sekian banyak guru, Imam Bukhari juga meninggalkan sederet murid yang juga pakar di bidang hadits. Di antara murid-muridnya, yang paling terkenal adalah Imam Muslim bin Hajjaj, Imam Tirmidzi, Imam Abu Zur’ah, Imam Ibnu Khuzaimah, Imam Abu Dawud, Imam al-Nasa’i, Imam Muhammad bin Yusuf al-Firyabi, Ibrahim bin Mi’yal al-Nasafi, Hammad bin Syakir al-Nasawi dan Mansur bin Muhammad al-Bazdawi.
Imam Bukhari tak sekedar pakar dalam bidang hadits tapi juga seorang yang pakar di bidang fiqih, sejarah dan dalam cabang ilmu keislaman lainnya. Termasuk yang jarang diungkapkan, Imam Bukhari termasuk pemanah ulung. Pada sebuah riwayat, Imam Bukhari sepanjang hidupnya hanya dua kali mata panahnya meleset dari sasaran.

Pakar hadits kharismatik ini wafat pada Sabtu malam 1 Syawal 256 H pada usia 62 tahun 13 hari di Khartank, sebuah kampung dekat kota Samarkand. Sebelum wafat, Imam Bukhari berpesan agar jenazahnya dikafani tiga helai kain, tanpa baju dan sorban. Jenazahnya dimakamkan setelah shalat Zhuhur, bertepatan dengan perayaan kemenangan kaum muslimin di Idul Fitri.

Karya-karya Imam Bukhari
Sebagai salah seorang ulama yang produktif menulis, Imam Bukhari telah menyumbangkan sejumlah karya kepada umat Islam. Di antaranya:
• At-Tarikh ash-Shagir.
• At-Tarikh al-Awsath.
• Adh-Dhu’afa.
• Kitab al-Kuna.
• Al-Adab al-Mufrad
• Al-Jami’ ash-Shahih ( yang kemudian dikenal dengan Shahih Bukhari).
• Raf’u al-Yadain fi ash-Shalat.
• Khair al-Kalam fi al-Qiraat Khalfa al-Imam
• Al-Asyribah
• Birr al-Walidain
• Khalq Af’al al-Ibad
• Al-Ilal fi al-hadits
• Al-Musnad al-Kabir
• Al-Wihdan
• Al-Mabsuth
• Al-Hibah
• Al-Fawaid
• Qadhaya ash-Sahabah wa-at-Tabi’in.


Edisi 7 Th.I / 25 Ramadhan 1429 H / 25 September 2008.
Azhar Suhaimi

 

Design by Amanda @ Blogger Buster