IT,Ilmu-ilmu Alquran,Berita aktual,Penulisan,Pengalaman
Thursday, December 11, 2008
Faithfreedom Indonesia akhirnya ditutup
Posted by Muhamad Ali at 10:01 AM 0 comments
Wednesday, November 26, 2008
Mengenal Tafsir at-Tahrir wat-Tanwir
Kitab yang terdiri dari tiga puluh juz dan terbagi kepada dua belas jilid ini merupakan sebuah tafsir kontemporer. Tampilan unik dan berbeda dengan kitab lain secara kasat mata.
Posted by Muhamad Ali at 9:51 PM 0 comments
Tuesday, November 11, 2008
Ibnu Hajar Al-Asqalani
Berguru Kepada 500 Ulama
Jika dihitung jumlah guru Ibnu Hajar mencapai 500 orang dalam berbagai cabang ilmu, terutama di bidang fiqih dan hadist.
Ibnu Hajar Al-Asqalani, bernama lengkap Syihabuddin Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Hajar Al-Kinani Al-Asqalani Asy-Syafi’i Al-Mishri. Kemudian dikenal dengan nama Ibnu Hajar. Sedangkan sebutan Al-Asqalani diambil dari ‘Asqalan’, sebuah kota dekat Gaza, Palestina.
Ibnu Hajar lahir di Mesir bulan Sya’ban 773 H. Sejak kecil, Ibnu Hajar sudah menjadi yatim piatu. Ibunya wafat ketika Ibnu Hajar masih bayi, kemudian ayahnya menyusul wafat ketika ia berumur 4 tahun. Sebelum wafat ayahnya berwasit kepada Zakiyudin Al-Kharrubi dan Syamsudin Ibnu Qathan Al-Misri untuk mengasuh Ibnu Hajar.
Meski terlahir Yatim piatu sejak kecil Ibnu Hajar memiliki semangat belajar yang tinggi.
Pada umur 5 tahun Ibnu Hajar kuttab (semacam TPA), saat menginjak usia sembilan tahun Ibnu Hajar mampu menghapal al-Qur’an. Selain itu, di umurnya yang masih berbau kencur Ibnu Hajar juga menghapal buku-buku kecil, diantaranya al-’Umdah, al-Hawi, ash-Shagir, Muhtashar Ibnu Hajib dan Milhatul I’rab.
Setelah belajar kepada dua tokoh ini, Ibnu Hajar melakukan perjalanan ke banyak negeri Ibnu Hajar tercatat pernah mengunjungi Makkah dan Madinah. Bahkan, di usia 12 tahun, di Makkah, Ibnu Hajar mendengarkan Shahih Bukhari dari ahli hadits Afifuddin An-Naisaburi.
Di Damaskus, Ibnu Hajar bertemu dengan ahli sejarah sekelas Ibnu Asakir, Ibnu Malaqin dan al-Bulqini. Ketika berada di Palestina, Ibnu Hajar menyempatkan berkeliling Nablus, Khalil, Ramlah dan Ghuzzah untuk bertemu ulama setempat. Seperti di Damaskus, Ibnu Hajar berkeliling ke beberapa kota di Yaman.
Sepanjang hidupnya, Ibnu Hajar belajar kepada banyak guru. Antara lain, Afifudin an-Naisaburi, Muhammad bin Abdullah bin Zhahirah, Abu Hasan al-Haitsami, Ibnul Malaqqin, Sirajuddin Al-Bulqini. Selain itu, Ibnu Hajar juga pernah berguru kepada Abul-Fadhl Al-Iraqi, Abdurahhim bin Razin, Al-Izz bin Jama’ah, serta al-Hummam Al-Khawarizmi.
Untuk ilmu Bahasa Arab, Ibnu Hajar belajar kepada al-Fairuz Abadi, Ahmad bin Abdurrahman. Pada ilmu Qira’ah Ibnu Hajar belajar kepada al-Burhan at-Tanukhi. Jika dihitung, jumlah guru Ibnu Hajar mencapai 500 orang dalam berbagai cabang ilmu, terutama di bidang fiqih dan hadits.
Sebagai orang kaya ilmu, yang tercermin dalam sikap tawadhunya, sabar dan penuh kehati-hatian dalam bersikap, justru membawa Ibnu Hajar berada dalam tawaran jabatan dari pemerintah di zamannya. Seorang hakim bernama Ashadr al-Munawi, pernah menawarkan Ibnu Hajar menjadi wakilnya, tapi ditolaknya, bahkan ia sempat bertekad untuk tidak menjabat di kehakiman.
Di era Sultan al-Muayyad, Ibnu Hajar pernah diserahkan jabatan serupa untuk menangani perkara yang khusus. Demikian di saat Jalaludin a-Bulqani menjabat sebagai hakim, Ibnu Hajar didesak untuk menjadi wakilnya.
Pada 827 H, pemerintah Mesir mengamanahkan Ibnu Hajar untuk memangku jabatan Hakim Agung. Ibnu Hajar sempat menerima namun belakangan ia merasa kecewa dengan sikap para pejabat. Ibnu Hajar tidak suka melihat ulah pejabat negara juga yang suka mangecam hakim apabila keinginan mereka ditolak. Padahal pejabat bersangkutan jelas bersalah. Tidak kuat dengan fitnah ini, Ibnu hajar akhirnya mengundurkan diri dari jabatan hakim agung Mesir.
Namun, pada tahun yang sama, pemerintah Mesir kembali memintanya menjabat sebagai hakim agung. Karena dipandang wajib di posisi ini, Ibnu Hajar menerima jabatan ini. Bahkan, tidak hanya di Mesir wilayah hukumnya, namun Ibnu Hajar juga diamanahi untuk membawahi kehakiman kota Syam.
Jabatan sebagai hakim dijalaninya dengan pasang surut. Pasalnya, di wilayah yang sebagian orang menginginkannya ini terlalu banyak fitnah, perpecahan, kepura-puraan, hingga mengedepankan hawa nafsu. Ibnu Hajar tercatat menjabat 21 tahun selama hidupnya.
Sebagai orang yang dirindukan banyak orang, Ibnu Hajar juga tetap menjalankan tugasnya sebagai khotib di Masjid Jami’ al Azhar , Masjid Jami’ Amr Ash. Namun sebagai sebagai ilmuwan, Ibnu Hajar tetap konsen dalam mengkaji dan meneliti hadits-hadits. Selain itu, Ibnu Hajar tetap mengajar ilmu tafsir, hadits, fiqih dan ceramah di berbagai tempat.
Sebelum wafat pada 28 Dzhulhijjah 852 H di Mesir, Ibnu Hajar banyak melahirkan tokoh dan ulama besar. Sederet nama besar pernah menjadi muridnya.Sebut misalnya, Imam As-Shakhawi (902 H), Al-Biqa’i (885 H), Zakaria al-Anshari (926 H), Ibnu Qadhi Syubhah (874 H), Ibnu Taghri Bardi (874 H), dan Ibnu Fahd al-Makki (871 H).
Selain mewariskan banyak ilmu kepada para muridnya, Ibnu Hajar juga meninggalkan banyak karya tulis. Dan, yang paling fenomenal dan masyhur adalah Fathul Baari Syarah Shahih Bukhari.
Karya-karya Ibnu Hajar
Fathul Baari Syarh Shahih Bukhari
Dalam kitab ini, Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan masalah bahasa dan i’rab dan menguraikan masalah penting yang tidak ditemukan di kitab lainnya. Kitab ini juga menjelaskan dari segi balaghah dan sastranya, mengambil hukum, serta memarkan berbagai masalah yang diperdebatkan oleh para ulama, baik menyangkut fiqih maupun ilmu kalam secara terperinci dan tidak memihak. Di samping itu, Ibnu Hajar mengumpulkan seluruh sanad hadits dan menelitinya, serta menerangkan tingkat keshahihan dan kedha’ifannya.
Bulughul Maram min Adilatil Ahkam
Kitab ini merupakan kumpulan hadits yang membahas seputar ibadah,muamalah,munakahah maupun seputar jinayah.Bobot dan kualitas kitab telah diakui para ulama setelah Ibnu Hajar. Sekalipun ringkas dan hanya memuat pokok-pokok hadits hukum namun kitab ini telah menjadi salah satu rujukan penting di zaman ini, kitab sangat populer di seluruh lapisan para penuntut ilmu, terutama bagi yang konsen di bidang ilmu hadits maupun di kalangan yang mendalami madzhab-madzhab fiqih.
Al-Ishabah fi Tamyizish Shahabah
Kitab ini berisi tentang biografi sahabat yang bisa dijangkau oleh Ibnu Hajar.Biografi ini seperti Usdul Ghabah yang ditulis Ibnu Atsiir. Namun yang membedakan, Ibnu Hajar berpengalaman dalam penulisan biografi sejarah para sahabat. Kitab ini sangat baik menjadi rujukan untuk mengetahui sahabat yang terkenal maupun yang belum dikenal banyak orang.
Tahzibut Tahdzib
Kitab ini ada karena munculnya kitab Al-Kamal. Lalu muncul lagi Tazhibul Kamal yang ditulis az Zahabi. Kemudian muncullah Tahzibut Tahzib, karena kitab-kitab sebelumnya dianggap cukup panjang oleh Ibnu Hajar. Kitab ini sebenarnya semacam biografi para periwat hadits, tapi lebih tepat membahas tentang ilmu rijak hadits yang berisi tentang jarah wa ta’dil terhadap para perawi hadits.
Taghliqut Ta’liq
Di kitab ini, Ibnu Hajar mencoba mengkaji Ta’liqot Bukhari.Ta’liqot Bukhari ini berisi hadits-hadits muallaq yang sebenarnya tidak dhaif tapi tidak memenuhi kreteria shahih oleh Bukhari sendiri. Di Taghliqut Ta’liq ini Ibnu Hajar mencoba menyelesaikan kedudukan Ta’liqot Bukhari supaya tidak ada hadits muaalaq pada Bukhari.
Ad-Durarul Kaminah
Kitab ini berisi biografi tokoh-tokoh yang ada pada abad delapan, sekitar tahun 700-an. Satu abad sebelum Ibnu Hajar wafat.
Inbaul Ghumr bi Anbail Umr
Kitab ini justru berbicara tentang tokoh-tokoh yang seabad dengan Ibnu Hajar. Isinya juga sama dengan Ad Durarul Kaminah,tentang biogarfi berbagai tokoh, para perawi baik yang dijumpainya langsung maupun yang dinukil dari gurunya.
(Al-Mujtama Edisi 5 Th I/12 Syaban 1429 H )
Posted by Muhamad Ali at 9:02 AM 1 comments
Wednesday, October 22, 2008
“Antara Usman Bin Affan dan Faraq Fouda”
Tampaknya, ada sifat yang khas dari kaum liberal di Indonesia. Mereka senang dengan hal-hal yang nyeleneh dan asal beda dengan umat Islam pada umumnya. Orang Jawa bilang: yang penting Waton suloyo alias WTS atau asal beda. Jika umat Islam menolak Ahmadiyah, mereka malah mendukung Ahmadiyah. Umat Islam mendukung RUU Anti-pornografi, mereka justru menolaknya. Jika umat Islam mengecam perkawinan sesama jenis, mereka justru mendukungnya. Umat Islam menolak perkawinaan antar-agama, tapi mereka malah mempromosikannya.
Umumnya umat Islam membanggakan sejarahnya yang gemilang. Tapi, kaum liberal senang tampil beda. Mereka senang jika umat Islam malu dengan sejarahnya sendiri. Yang penting beda! Jika ada hal yang dianggap baru, dan datang dari kaum liberal di luar, lalu ditelan begitu saja. Yang penting liberal, dan sok kritis terhadap Islam. Ketika muncul seorang lesbian seperti Irshad Manji, maka mereka sambut dengan gegap gempita. Nong Darol Mahmada, aktivis liberal alumnus Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta menulis artikel di Jurnal Perempuan (nomor 58) berjudul: “Irshad Manji, Muslimah Lesbian yang Gigih Menyerukan Ijtihad.”
Kita pernah membahas, bagaimana naifnya pujian yang berlebihan terhadap Irshad Manji. Tapi, mereka tidak peduli. Setelah mempromosikan Irshad Manji, kini kaum liberal di Indonesia sedang gandrung dengan idola baru bernama Farag Fouda. Yayasan Wakaf Paramadina menerbitkan edisi kedua karya Farag Fouda berjudul Kebenaran yang Hilang: Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslimin. Judul aslinya adalah al-Haqidah al-Ghaibah.
Tampaknya, buku Fouda sedang digandrungi oleh kaum liberal. Di berbagai forum mereka mempromosikan buku ini. Katanya, ini buku yang hebat, yang menunjukkan “kebenaran” yang selama ini disembunyikan oleh para sejarawan Muslim. Di negara asalnya, Fouda memang sempat membuat berita besar, saat ia mati terbunuh pada 8 Juni 1992.
Menyambut kampanye penyebaran buku Fouda tersebut, Jumat (17 Oktober 2008) lalu, bertempat di Masjid al-Furqan, Dewan Da’wah Islamiyah
Karena itu, kita kemudian memang cukup keheranan dengan berbagai pujian terhadap buku ini. Khususnya yang dilakukan oleh orang yang bergelar guru besar bidang sejarah. Prof. Dr. Azyumardi Azra, Guru Besar Sejarah dan Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah ini, memuji-muji buku Fouda:
“Karya Farag Fouda ini secara kritis dan berani mengungkapkan realitas sejarah pahit pada masa Islam klasik. Sejarah pahit itu bukan hanya sering tak terkatakan di kalangan kaum Muslim, tapi bahkan dipersepsikan secara sangat idealistik dan romantik. Karya ini dapat menggugah umat Islam untuk melihat sejarah lebih objektif, guna mengambil pelajaran bagi hari ini dan masa depan”.
Lebih “hebat” lagi pujian dari Prof. Dr. Syafi`i Maarif, Guru Besar Filsafat Sejarah, Universitas Nasional Yogyakarta (UNY):
”Terlalu banyak alasan mengapa saya menganjurkan Anda membaca buku ini. Satu hal yang pasti: Fouda menawarkan ”kacamata” lain untuk melihat sejarah Islam. Mungkin Fouda akan mengguncang keyakinan Anda tentang sejarah Islam yang lazim dipahami. Namun kita tidak punya pilihan lain kecuali meminjam ”kacamata” Fouda untuk memahami sejarah Islam secara lebih autentik, obyektif dan komprehensif”.
Dengan gamblang, Asep menunjukkan bagaimana Fouda telah sengaja mengambil sejumlah riwayat yang lemah dan tidak jelas sumbernya untuk mendukung opininya. Lalu, dia katakan itu sebagai fakta sejarah. Padahal, faktanya tidak begitu. Kecurangan yang sangat jelas, misalnya, dalam kasus sahabat Utsman bin Affan r.a. Dengan mengutip riwayat-riwayat yang lemah, Fouda telah membangun citra yang sangat buruk terhadap menantu Rasulullah saw tersebut.
Karena isinya semacam itu, tidak heran jika tokoh liberal, Goenawan Mohamad pun bersorak gembira dengan terbitnya buku ini. Catatan Goenawan di Majalah TEMPO dijadikan epilog buku ini. Ketajaman pena wartawan kawakan ini digunakan untuk mempertajam lagi gambaran hitam fitnah Fouda terhadap sahabat Rasulullah saw yang mulia ini. Simaklah uraian Goenawan tentang Sayyidina Usman bin Affan r.a. dalam kolomnya:
“Mereka tak sekadar membunuh Usman. Menurut sejarawan al-Thabari, jenazahnya terpaksa “bertahan dua malam karena tidak dapat dikuburkan.” Ketika mayat itu disemayamkan, tak ada orang yang menyalatinya. Jasad orangtua berumur 83 tahun itu bahkan diludahi dan salah satu persendiannya dipatahkan. Karena tak dapat dikuburkan di pemakaman Islam, khalifah ke-3 itu dimakamkan di Hisy Kaukab, wilayah pekuburan Yahudi. Tak diketahui dengan pasti mengapa semua kekejian itu terjadi kepada seorang yang oleh Nabi sendiri telah dijamin akan masuk surga. Fouda mengutip kitab al-Tabaqat al-Kubra karya sejarah Ibnu Saád yang menyebutkan satu data menarik: khalifah itu agaknya bukan seorang bebas dari keserakahan. Tatkala Usman terbunuh, dalam brankasnya terdapat 30.500.000 dirham dan 100.000 dinar.”
Tampaknya Goenawan tidak mengecek sendiri pada kitab al-Thabari dan Ibn Saád. Dia taklid buta pada Fouda. Dengan penggambaran Goenawan Mohamad seperti itu terhadap Usman r.a., kita dapat menangkap pesan, bahwa Khalifah ketiga dari Khulafaurrasyidin itu adalah seorang yang hina, sial, dan serakah. Goenawan seperti sedang mengejek umat Islam yang senantiasa berdoa untuk Rasulullah saw dan para sahabatnya: “Wahai umat Islam, orang yang kalian puja dan doakan itu adalah manusia brengsek. Kalian selama ini telah tertipu.
Kita paham, kaum liberal seperti Goenawan Mohamad ini sedang menertawai umat Islam melalui buku Fouda. Seolah-olah, selama ribuan tahun, umat Islam tolol semua.
Pesan penting lain yang disampaikan Goenawan melalui kolomnya adalah pembelaan terhadap Fouda. Ia memuji Fouda. Ia menyesali kematian Fouda. Sebab, Fouda termasuk jajaran kaum sekular-liberal. “Ia mempersoalkan keabsahan posisi khilafah. Ia pengganggu kemutlakan,” tulis Goenawan tentang Fouda. Tapi, penyesalan itu bukan untuk Usman r.a.. Goenawan termakan cerita Fouda, bahwa Usman r.a. adalah manusia brengsek, serakah, dan haus kekuasaan. Karena menolak turun dari jabatannya, maka Usman terbunuh. “Maka perkara jadi runcing dan mereka mengepung Usman – lalu membunuhnya, lalu menistanya,” tulis Goenawan.
Usman bin Affan adalah manusia hina. Itu fakta, kata mereka Sumber berita untuk mencaci maki sahabat Nabi itu hanya satu: Farag Fouda. “Kaum “Islamis” tak pernah menyebut peristiwa penting itu, tentu,” ejek Goenawan. Syafii Maarif juga cukup rajin mempromosikan buku Fouda ini. Seperti yang ditulisnya di sampul belakang buku ini: Fouda telah memahami sejarah Islam secara lebih autentik, obyektif dan komprehensif. Azyumardi Azra juga menyebut apa yang disajikan oleh Fouda sebagai “realitas sejarah”.
Sebagai Muslim yang beriman akan kejujuran Nabi Muhammad saw, tentu iman kita tertantang dengan pemaparan tentang Sayyidina Usman versi kaum liberal ini. Benarkah Usman r.a. memang manusia hina dan bejat seperti digambarkan Fouda dan Goenawan Mohamad? Padahal, begitu banyak hadits Nabi yang menyebutkan tentang keutamaan Usman bin Affan. Maka, kita ditantang: percaya pada Nabi Muhammad saw atau percaya pada Farag Fouda?
Untuk itu, cara terbaik adalah mengecek langsung sumber-sumber asli yang dikutip Fouda. Hasil penelitian Asep Sobari menunjukkan, ada kelemahan metodologis dan kecurangan yang sangat serius dari Fouda dalam mengutip sumber-sumber aslinya. Misalnya, tentang riwayat keterlambatan penguburan jenazah Usman bin Affan, Fouda hanya mengambil satu riwayat yang lemah dalam karya al-Thabari. Padahal, ada delapan versi lain yang juga disebutkan dalam kitab itu. Tapi, Fouda sama sekali tidak menyinggungnya.
Bahkan, dalam al-Thabaqat al-Kubra, karya Ibn Sa’ad, disebutkan beberapa riwayat dari `Amr bin Abdullah dan al-Waqidi yang jelas-jelas menyatakan Usman dimakamkan langsung pada malam harinya di Baqi` (al-Thabaqat, 3/77-78). Jadi, dengan hanya menyebut satu riwayat yang lemah, Fouda jelas-jelas melakukan upaya menipulasi data sejarah dengan membuat kesan seolah-olah hanya ada riwayat itu saja.
Cara penulisan sejarah seperti ini tentu tidak komprehensif. Maka, ajaib, jika Profesor sejarah justru memuji-muji buku ini. Sama ajaibnya dengan wartawan senior yang malas melakukan cek dan ricek terhadap sumber-sumber referensi yang dipakai Fouda. Mungkin hanya karena cerita picisan Fouda itu sesuai dengan seleranya, maka dia langsung menelan begitu saja cerita tentang kebejatan Usman r.a..
Dalam paparan slide-nya saat Tabligh Akbar di Masjid Dewan Da’wah, Asep Sobari menampilkan naskah asli dari al-Thabari yang sama sekali tidak menyebutkan areal pemakaman Hasy Kaukab sebagai areal pemakaman Yahudi. Tapi, dalam naskah asli buku Fouda, ada tambahan bahwa Hasy Kaukab (bukan Hisy Kaukab) adalah areal pemakaman Yahudi. Ini juga merupakan tindakan yang tidak etis dalam penulisan ilmiah. Apalagi ini menyangkut martabat seorang sahabat Nabi yang sangat dihormati oleh Nabi Muhammad saw dan juga umat Islam secara keseluruhan.
Apakah Usman bin Affan seorang yang serakah karena meninggalkan banyak uang seperti dikatakan Goenawan Mohamad? Asep Sobari menunjukkan data yang menarik tentang kesuksesan bisnis Usman r.a. dan kedermawanannya. Sejumlah riwayat yang dituturkan Ibn Hajar memberi gambaran kekayaan Usman. Di antaranya, pada permulaan masa hijrah, kaum muslim di Madinah kesulitan mendapat air bersih. Saat itu, hanya ada mata air Rumah yang tersedia dan itupun harus dibeli. Usman r.a. akhirnya membeli sumur itu dan mewakafkannya untuk umat Islam. Ketika ada rencana perluasan masjid Nabawi di masa Nabi saw dan dana kas negara tidak mencukupi, Rasulullah saw mengumumkan pengumpulan dana. Maka Usman r.a. segera membeli tanah untuk perluasan tersebut seharga 25.000 dirham.Ketika Nabi saw menghimpun dana guna membiayai perang Tabuk yang terjadi di masa paceklik, Usman r.a. mendermakan 1000 dinar, 940 ekor unta dan 40 ekor kuda (al-Khilafah al-Rasyidah min Fath al-Bari, hlm. 453-458).
Seiring dengan geliat kemajuan ekonomi di masa Umar, bisnis Usman bin Affan pun semakin berkembang dan asetnya bertambah besar, jauh di atas rata-rata kaum muslimin lainnya. Imam Bukhari (hadits no. 3059) menggambarkan, ketika kekayaan negara berupa hewan ternak semakin banyak, Umar terpaksa membuat lahan konservasi eksklusif (al-Hima), dan berkata kepada pegawainya, “Izinkan para pemilik ternak untuk menggembala di al-Hima, tapi jangan sekali-kali mengizinkan [Abdurrahman] bin Auf dan [Usman] bin Affan. Karena jika seluruh ternak mereka berdua binasa, mereka masih punya kebun dan ladang”.
Jadi, Usman r.a. memang seorang pengusaha sukses, kaya raya dan sangat dermawan. Jangankan hartanya, nyawanya pun telah dipertaruhkan untuk Islam. Ia terjun langsung dalam berbagai peperangan. Tidak masuk akal, manusia mulia seperti ini lalu menjadi orang yang serakah terhadap dunia. Tidaklah sepatutnya pribadi mulia seperti Usman bin Affan itu disejajarkan dengan seorang Farag Fouda. Jika ada sebagian sisi lemah Usman r.a. dalam kebijakan politiknya, maka Usman memang seorang manusia. Tapi, tidaklah komprehensif melihat kepemimpinan Usman hanya dari sebagian sisi lemahnya saja. Berbagai prestasi besar – dalam politik, ekonomi, dan pendidikan – telah dicapai dalam masa 12 tahun kepemimpinan Usman bin Affan r.a.
Selama ratusan tahun, para sejarawan Muslim telah mencurahkan segenap tenaga untuk menulis sejarah tentang para sahabat Nabi Muhammad saw. Tidak ada kebenaran yang disembunyikan, seperti tuduhan Fouda yang diamini begitu saja oleh sejumlah tokoh liberal di Indonesia. Sebab, sumber-sumber sejarah itu tetap terbuka untuk diteliti, oleh siapa saja. Silakan Goenawan Mohammad, Azyumardi Azra, dan Syafii Maarif menelitinya sendiri. Jangan bertaklid begitu saja kepada Fouda. Jangan mengerdilkan keilmuan Anda sendiri! Aneh, jika kematian Fouda disesali, tetapi kematian Usman bin Affan justru dianggap wajar. Sebab, Fouda adalah pejuang HAM, sedangkan Usman r.a. adalah manusia hina dan serakah!
Semestinya, para ilmuwan dan cendekiawan ini membaca juga banyak buku lainnya tentang cerita seputar konflik diantara sahabat Nabi. Thaha Jabir Ulwani, misalnya, dalam bukunya Adabul Ikhtilaf fil Islam, memaparkan data-data perbedaan bahkan konflik diantara sahabat Nabi. Mereka adalah manusia. Tapi, yang sangat indah adalah bagaimana cara mereka menghadapi dan menyelesaikan konflik. Umat Islam justru bisa belajar dari sejarah semacam itu. Sebab, dalam kehidupan manusia, ada saja orang-orang yang berbuat jahat dan mengeruhkan suasana. Terjadinya kekacauan dan pembunuhan terhadap Usman bin Affan r.a. tidak bisa begitu saja ditimpakan kesalahannya kepada Usman r.a. Begitu juga, martabat Ali bin Abi Thalib r.a. tidak kemudian menjadi rendah karena di masanya terjadi pergolakan.
Sebagai Muslim, kita tentu tidak sudi mengikuti jejak orang-orang yang mudah menghina sahabat Nabi saw. Mereka adalah manusia-manusia pilihan yang sangat disayangi oleh Nabi kita, Muhammad saw. Kita pun tak suka sahabat kita dicaci maki. Kaum liberal juga tidak suka jika idolanya diungkapkan keburukannya setelah kematiannya. Mereka katakan, itu tidak etis. Tapi, jika penghinaan dan pelecehan itu dilakukan terhadap sahabat Nabi, seperti Usman bin Affan r.a., mereka justru bertepuk tangan.
Maka, kita tak akan bosan-bosan mengimbau kepada semua pihak yang telah semena-mena mencaci maki sahabat Nabi yang mulia: beristighfarlah dan bertobatlah sebelum terlambat! [
Catatan Akhir Pekan (CAP) adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com
Posted by Muhamad Ali at 9:18 AM 0 comments
Monday, October 20, 2008
Memuja Fouda, Menfitnah Sahabat
Posted by Muhamad Ali at 8:37 AM 0 comments